Punya Kondisi Kesehatan Mental Bukan Berarti Menyerah Pada Mimpimu
by: Tazkia F. Jiniputri
“Aku punya anxiety dan panic disorder yang lumayan parah. Terkadang untuk bisa produktif setiap hari saja susah sekali. Apalagi untuk bisa go extra miles untuk mimpi-mimpi yang terlalu ambisius. Rasanya gak mungkin”
Saya yakin pasti banyak sekali orang-orang yang mempunyai kondisi kesehatan mental bisa relate sekali dengan kata-kata diatas. Saya juga tau rasanya bagaimana panic disorder bisa mengubah seseorang secara drastis. Sebelum saya didiagnosa memiliki panic disorder, saya lumayan pemberani. Dulu bepergian seorang diri keluar negeri itu jadi salah satu kesukaan saya. Kalau bepergian, semakin tidak ada rencana, semakin menyenangkan! Bertemu dengan orang baru, and simply let life surprises you along the way. Tapi, dengan panic disorder, tentunya itu jadi sulit. Jangankan untuk jalan-jalan keluar negeri sendiri. Untuk bepergian didalam kota sendiri saja terkadang rasanya sangat sulit. Untuk bisa survive melewati hari tanpa sensasi panic attack saja terkadang sulit sekali. Rasa-rasanya mengejar mimpi yang terlalu ambisius terdengar seperti tidak mungkin kan kalau begitu?
Sejak lama saya punya mimpi untuk melanjutkan kuliah S2 keluar negeri. Demi mengejar cita-cita saya yang lumayan ambisius, secara spesifik saya ingin sekali bisa kuliah disalah satu universitas Ivy League di Amerika Serikat yang memang memiliki reputasi yang sangat bagus di dunia. Saya sudah berniat mempersiapkan segala hal untuk bisa melanjutkan kuliah, sampai akhirnya sesuatu terjadi pada bulan Februari tahun 2012 lalu.
Hari itu adalah hari ulang tahun saya. Saya menjalani hari seperti biasa saat itu; berkumpul dengan teman-teman, menyelesaikan pekerjaan organisasi, dan melakukan aktifitas biasa lainnya. Tetapi, saya merasa ada hal yang aneh pada tubuh saya. Tiba-tiba kepala saya berputar, jantung saya berdebar kencang sekali, saya mulai merasa sesak nafas, dan seluruh tubuh saya mengalami kesemutan yang rasanya belum pernah saya alami sebelumnya. Saya panik sekali. Saya segera meminta teman saya untuk membawa saya kerumah sakit terdekat karena saya yakin sekali kalau saya terkena serangan jantung. Sesampainya dirumah sakit, diperjalanan menuju UGD, rasanya saya sudah tidak kuat lagi. Seluruh badan saya rasanya kebas dan kaku. Jantung saya juga semakin berdebar dan sesak nafas semakin menjadi-jadi. I literally thought that I was gonna die on my birthday that time.
Long story short, Tuhan masih memberikan kesempatan pada saya untuk tetap hidup. Dokter spesialis juga memberi tahu saya bahwa itu bukanlah penyakit yang serius; bahwa tidak ada hal yang abnormal pada tubuh saya. Secara fisik saya sehat 100%. Sampai akhirnya setelah melakukan banyak sekali riset setelah kejadian tersebut, saya tau kalau kondisi tersebut hanyalah serangan panik atau panic attack.
Hanyalan serangan panik…
Tapi ternyata tidak sesederhana itu. Sama sekali tidak sederhana. Mungkin sebagian orang yang pernah mengalami serangan panik bisa move on dan tidak terjebak dalam lingkaran panic attack yang tidak ada habisnya. Tapi untuk kasus saya, kejadian tersebut adalah awal dari bencana berikutnya: beberapa tahun setelah kejadian tersebut, saya di diagnosa mengalami anxiety dan panic disorder.
Sejak saat itu hidup saya berubah. Saya juga mengubur dalam-dalam mimpi saya untuk bisa kuliah ke luar negeri sejak. Saya pikir, setiap hari saya harus melawan anxiety dan panic disorder. Bagaimana saya bisa bertahan dengan lingkungan luar negeri yang sangat kompetitif, pressure dari perkuliahan, dan harus tinggal jauh sekali dari rumah sendirian, menurut saya itu sangat mustahil. Akhirnya, bertahun-tahun saya berusaha melupakan mimpi itu. Saya mulai kehilangan kepercayaan diri. Saya merasa tidak pantas untuk mempunyai mimpi setinggi itu.
Lebih dari 7 tahun berlalu. Sampai saat ini saya masih berusaha untuk mengontrol anxiety dan panic disorder yang sudah saya miliki sejak lama. Saya pun mulai mempelajari banyak hal mengenai kesehatan mental, dan tergerak untuk membuat komunitas kesehatan mental untuk membantu memberikan akses pengetahuan dan support system bagi perempuan yang sedang berjuang melawan masalah kesehatan mental agar mereka tidak merasa sendirian. Itulah alasan saya mendirikan platform Ease ini. Membantu orang-orang yang membutuhkan ternyata berhasil membuat kondisi kesehatan mental saya semakin membaik. Sampai akhirnya kegiatan ini memberikan inspirasi dan alasan kenapa saya harus melanjutkan dan membuka kembali mimpi yang sudah lama dipendam; melanjutkan kuliah S2 keluar negeri sebagai salah satu milestone untuk mimpi yang bahkan lebih besar lagi.
Pada awalnya, hal tersebut sangat menakutkan. Bagaimana kalau saya gagal? Bagaimana kalau saya tidak mampu melalui tantangannya yang tentunya tidak mudah? Bagaimana kalau kondisi saya malah semakin memburuk? Dan pertanyaan-pertanyaan menakutkan lainnya. Tapi, saya menyadari bahwa saya tidak akan pernah dapat jawabannya kalau saya tidak coba. Maka, saya akhirnya memberanikan diri untuk mendaftar ke beberapa kampus impian saya di Amerika Serikat, yang sebagian besar adalah universitas Ivy League. Perjalannya memang tidak mudah. Berkali-kali saya mengalami serangan panik ketika sedang tes untuk mendapatkan nilai yang cukup untuk mendaftar universitas - universitas tersebut. Beberapa kali juga rasanya saya ingin sekali menyerah. Tetapi, saya sadar bahwa tidak apa berusaha 10 kali lebih berat dari orang lain dengan kondisi kesehatan mental saya, yang penting kita sama-sama sampai ditujuan. Selain itu, saya juga diberikan privilege berupa dukungan penuh dari keluarga saya. I am very grateful with that.
Sampai akhirnya, setelah mengalami beberapa kali gagal, saya mendapatkan jawabannya. Di tahun 2020, saya diterima di Columbia University di kota New York dengan beasiswa penuh. Salah satu universitas ivy league impian saya sejak lama. Rasanya perjuangan saya tidak sia-sia. Dan saya benar-benar bersyukur memutuskan untuk mencoba. Kalau tidak, mungkin saya tidak akan pernah tau kalau sebenarnya saya bisa. Email yang saya terima dari Columbia University dan hasil pengumuman beasiswa saya jadikan sebagai jawaban dari Tuhan bahwa mimpi besar saya yang saya ingin capai setelah saya lulus S2 mungkin bukan hanya angan-angan belaka. It may not be that intimidating.



Columbia University, Manhattan, New York

Saat ini saya menulis cerita ini dari New York. Ini adalah bulan ketiga saya menjadi mahasiswa S2 di Columbia. Perjalanannya tidaklah mudah. Pada masa transisi di bulan pertama, saya mengalami serangan panik yang lebih parah dari biasanya. Setiap hari harus merasa anxious setiap waktu dikarenakan transisi yang sangat besar. Sangatlah tidak mudah. Tapi, yang ingin saya tekankan adalah, apabila kamu sedang berjuang dengan masalah kesehatan mental, itu bukanlah berarti kamu harus mengehentikan hidup kamu dan tidak berani untuk bermimpi. Mungkin masalah ini malah menjadi sumber kekuatanmu. Tidak apa-apa berjuang 10 kali lebih keras dari orang lain yang tidak memiliki masalah kesehatan mental, toh akhirnya kalian akan sampai ditujuan yang sama. Jangan pernah takut bermimpi!